INFO DUNIA PERIKANAN

Home » Info » The Blue Future of Indonesia

The Blue Future of Indonesia

Oleh: Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS

Indonesia merupakan salah satu dari sedikit bangsa di dunia yang secara intrinsik (fitrah) kehidupannya paling terkait dan sangat bergantung pada laut. Bayangkan, tiga per empat (75%) wilayah Indonesia adalah laut (termasuk ZEEI atau Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia) yang luasnya sekitar 5,8 juta km2. Dalam wilayah laut itu bertaburan sekitar 13.487 pulau yang dirangkai oleh 95.200 km garis pantai, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada.  Itu sebabnya, Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia.  Pilipina yang merupakan negara kepulauan terbesar kedua di dunia hanya memiliki 7.100 pulau (Aroyo, 2011).

Semua penduduk Indonesia, apakah mereka yang tinggal di desa atau di kota, di daerah pegunungan ataupun di kawasan pesisir, hidupnya dipengaruhi oleh laut dan segenap kiprah kehidupan serta kegiatan pembangunan nya secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap laut.

Hampir semua warung, restoran, pasar tradisional, dan pasar swalayan (mall), dan grocery di daerah perkotaan dan perdesaan di seluruh wilayah Nusantara menghidangkan dan mendagangkan berbagai jenis seafood dan ikan dari laut. Tak heran, bila sekitar 65% asupan protein yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari ikan dan seafood.  Tahun lalu total produksi perikanan Indonesia mencapai 10,5 juta ton, sehingga menjadikan bangsa kita sebagai produsen perikanan terbesar ketiga di bumi ini setelah China dan Peru.  Selain sebagai bahan pangan, komoditas dan produk laut lainnya seperti rumput laut, mikro algae (fitoplankton), teripang, karang lunak, kerang mutiara, dan ekinodermata sejak lama menjadi bahan baku (raw materials) utama bagi industri farmasi, kosmetika, biofuel, dan barbagai jenis industri lainnya.

Terumbu karang, panorama pantai dan laut Indonesia yang indah menjadi obyek dan tujuan wisata bagi jutaan wisatawan domestik maupun asing.  Sektor pariwisata bahari setiap tahunnya menyediakan lapangan kerja bagi jutaan warga negara Indonesia, menghasilkan devisa sedikitnya 3 miliar dolar AS, dan sejumlah multiplier effects (efek pengganda). Sekitar 70 persen dari produksi migas nasional berasal dari kawasan pesisir dan lautan.  Di wilayah pesisir dan lautan Indonesia juga terkandung timah, bauksit, pasir besi, mangan, fosfor, emas, tembaga, dan bahan tambang serta mineral lainnya.

Laut Indonesia juga menjadi media transportasi utama di Indonesia.  Lebih dari itu, sekitar 45% dari total barang dan komoditas yang diperdagangkan di seluruh dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar setiap tahunnya dikapalkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) (UNCTAD, 2010).  Sektor industri dan jasa maritim, seperti galangan kapal, dockyard, pabrik mesin kapal, pabrik jaring dan alat tangkap lain, kabel bawah laut, bangunan kelautan, coastal and ocean engineering merupakan sektor ekonomi yang menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan nilai ekonomi cukup besar serta terus berkembang.

Selain fungsi ekonomi, ekosistem pesisir dan lautan Indonesia juga memiliki fungsi lingkungan (ekologis) yang sangat vital bukan hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bagi dunia.  Terletak di sepanjang garis khatulistiwa dan diantara Samudera Pasifik dan Hindia, ekosistem pesisir dan laut Indonesia menjadi faktor dominan yang menentukan dinamika iklim global, terutama El-Nino dan La-Nina.  Sebagai negara dengan marine biodiversity (kenekaragaman hayati laut) tertinggi di dunia, termasuk sebagai pusat the World’s Coral Triangle,  Indonesia juga memiliki potensi plasma nutfah (genetic resources) serta produksi pangan, farmasi, kosmetik, dan industri bioteknologi lain yang luar biasa besarnya.  Artinya, keberlanjutan (sustainability) produksi pangan, farmasi, dan industri bioteknologi lain dunia juga sangat tergantung pada laut Indonesia.  Lebih dari itu, laut juga berfungsi sebagai pencerna (asimilator) beragam jenis limbah, baik yang berasal dari aktivitas manusia di daratan maupun di lautan; pengatur siklus hidrologi dan biogeokimiawi. Semua ini merupakan fungsi penunjang kehidupan (life-supporting functions) yang membuat kondisi bumi menjadi nyaman bagi kehidupan manusia dan cocok untuk lokasi berbagai kegiatan pembangunan.

Ekosistem pesisir dan laut juga merupakan tempat dan sumber untuk berbagai macam jenis kegiatan penelitian (eksplorasi) dan pendidikan.  Dan, memiliki fungsi pertahanan dan keamanan. Singkatnya, laut sangat menentukan bukan hanya kemajuan pembangunan ekonomi, tetapi juga hampir setiap denyut kehidupan bangsa Indonesia.

Tren kerusakan laut

          Di balik arti penting dan fungsi strategis laut seperti saya uraikan di atas, kerusakan lingkungan pesisir dan lautan berupa gejala tangkap lebih (overfishing), pencemaran, degradasi fisik ekosistem pesisir utama (mangroves, terumbu karang, padang lamun, dan estuari), erosi pantai, dan pengikisan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) semakin meluas dan parah.  Di banyak kawasan pesisir dan laut, terutama yang padat penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya (seperti di sekitar Medan, Batam dan Tanjung Pinang, Pantura, sebagian pantai di P. Bali, dan muara Sungai Aijkwa di Papua), beragam bentuk kerusakan lingkungan tersebut telah mencapai tingkat (level) yang mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem pesisir dan laut untuk mendukung pembangunan ekonomi dan  kehidupan manusia selanjutnya.

Gejala overfishing berupa semakin menurunnya hasil tangkapan ikan per satuan upaya tangkap (catch per unit of fishing effort), semakin mengecilnya rata-rata ukuran ikan yang tertangkap oleh nelayan, dan kian menjauhnya lokasi penangkapan ikan (fishing grounds) telah melanda stok jenis-jenis ikan demersal (dasar), pelagis besar (seperti tuna, cakalang, marlin, dan setuhuk), krustasea (udang), dan ikan karang di kebanyakan wilayah perairan laut Indonesia. Terutama di perairan Selat Malaka, Laut Jawa, Selatan Sulawesi, Selat Bali, dan Laut Arafura.

Ekosistem terumbu karang yang kondisinya tergolong sangat baik kurang dari 10 persen, sedang sekitar 20 persen, dan 70 persen sisanya sudah dalam keadaan rusak dan rusak berat (P2O-LIPI, 2011).  Penyebab utama dari kehancuran terumbu karang di Indonesia adalah: (1) reklamasi (penimbunan) untuk dijadikan kawasan pemukiman, industri, dan pusat bisnis; (2) penambangan karang batu untuk bahan bangunan dan bahan baku pembauatan kapur; (3) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun; (4) kegiatan diving dan snorkling yang tidak bertanggung jawab dan ramah lingkungan; (5) sedimentasi (pelumpuran) akibat erosi tanah dari daratan; (6) pencemaran; dan (7) pemutihan karang (coral bleaching) akibat kian memanasnya suhu perairan laut sebagai implikasi dari global warming serta kerusakan akibat bencana alam lain seperti tsunami dan banjir.  Padahal, sekitar 25% keseluruhan ikan dan biota laut lain kehidupannya bergantung pada ekosistem terumbu karang (Beddington and Lubjenco, 2012).

Pencemaran tingkat sedang dan berat juga telah terjadi di wilayah-wilayah perairan laut yang padat penduduk atau tinggi tingkat industrialisasinya, seperti Teluk Jakarta, perairan pesisir hampir di sepanjang Pantura, Medan, Batam, Karimun, Tanjung Pinang, Pantai Losari di Makassar, estuari Sungai Aijkwa yang menerima limbah tailing (pasir sisa tambang) dari PT. Freeport, dan sebagian perairan pesisir Kalimantan Timur.

Yang lebih menyesakkan dada (ironis), kegiatan pembangunan sejak awal Orde Baru sampai sekarang yang telah menguras SDA kelautan, mencemari lingkungan pesisir dan laut, dan menggerus keanekaragaman hayati laut itu, ternyata belum mampu mensejahterakan masyarakat pesisir dan menghasilkan konstribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia.  Hingga kini, tidak kurang dari 40 persen penduduk pesisir masih tergolong miskin.  Padahal, fakta empiris menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan pesisir dan lautan tidak hanya disebabkan oleh sektor modern dan industrialisasi, tetapi juga oleh kemiskinan yang berlangsung lama, tanpa adanya alternatif mata pencaharian yang dapat meningkatkan kesejahteraan warga miskin.  Saudara-saudara kita nelayan dan penduduk pesisir lain yang miskin seringkali terpaksa harus menggunakan teknologi penangkapan ikan yang merusak lingkungan (seperti bahan peledak dan racun) hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan perkataan lain, kemiskinan merupakan akibat dari kerusakan lingkungan, dan sekaligus juga sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Hal ini sebagai konsekuensi dari pembangunan ekonomi kelautan yang tidak inklusif, keuntungan ekonominya hanya dinikmati oleh para kapitalis pemilik modal dan alat produksi lainnya.

Sementara itu, kontribusi sektor-sektor kelautan (perikanan tangkap, perikanan budidaya, ESDM, pariwisata bahari, perhubungan laut, industri dan jasa maritim, dan bangunan kelautan) terhadap ekonomi (PDB) Indonesia  pun relatif masih kecil, sekitar 23 persen.  Padahal, negara-negara lain dengan potensi ekonomi kelautan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia (seperti Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang, China, Norwegia, dan Islandia), kontribusi sektor-sektor kelautannya bagi PDB mereka rata-rata mencapai lebih dari 30 persen.

Blue economy

Pembangunan kelautan yang kurang optimal dan cenderung tidak berkelanjutan (unsustainable) seperti diatas disebabkan oleh pola pembangunan yang kurang berbasis IPTEK (inovasi dan kreatifitas), tidak menerapkan pendekatan supply chain system secara terpadu, kurang inklusif dan tidak ramah lingkungan.  Dengan perkataan lain, paradigma dan pola pembangunan kelautan yang dalam delapan tahun terakhir dilaksanakan hanya menggenjot pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada produksi komoditas primer (bahan mentah) kurang processing (hilirisasi) yang menghasilkan produk hilir bernilai tambah tinggi.  Lebih dari itu, economic rent (keuntungan ekonomi) nya sebagian besar dinikmati oleh para pemilik modal dan korporasi besar.  Sementara, nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir pada umumnya hanya menikmati keuntungan sisanya. Cara-cara pemanfaatan SDA kelautan pun kebanyakan sangat ekstraktif dan tidak ramah lingkungan.

Industri manufakturing dan sektor transporrtasi, baik yang berada di wilayah pesisir dan lautan maupun di daratan, sebagian besar mengeluarkan limbah cair, padat, dan emisi gas-gas rumah kaca (khususnya CO2) yang sangat besar, tanpa diolah dulu sebelum dibuang ke lingkungan alam.

Oleh sebab itu, mulai sekarang juga kita harus mengoreksi paradigma dan arah pembangunan kelautan yang unsustainable menjadi lebih baik dan sustainable (berkelanjutan). Dalam dekade terakhir UNEP telah menawarkan paradigma pembangunan ekonomi baru, yakni green economy (ekonomi hijau) dan sejak lima tahun lalu blue economy (ekonomi biru) sebagai suatu cara untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

    Sebenarnya green economy sebagai suatu konsep mulai digagas sejak akhir 1980-an sebagai cara (a tool) untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan  (Pearce et al., 1989).  “A green economy is one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities” (UNEP, 2011).

     Dalam pengertian yang lebih praktis, green economy adalah ekonomi yang digerakkan oleh aktivitas pembangunan yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon), menggunakan SDA secara efisien, dan secara sosial hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat dengan adil (socially inclusive).  Dengan kata lain, dalam ekonomi hijau, growth in income and employment are driven by public and private investments that reduce carbon emissions and pollution, enhance energy and resource efficiency, and prevent the loss of biodiversity and ecosystem services.

Selanjutnya, sejak 2009 berkembanglah konsep blue economy. Pada dasarnya, blue economy adalah aplikasi green economy di bidang ekonomi kelautan (in a Blue World)  (UNEP, 2012). Ekonomi kelautan adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan/atau yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia (Dahuri, 2003; Kildow, 2005).  Berdasarkan pada definsi ini, Dahuri (2011) mengidentifikasi sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan, yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pariwisata bahari, (6) energi dan sumber daya mineral (ESDM), (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) coastal forestry (kehutanan pesisir), (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) non-konvensional.

Sementara itu, PEMSEA (2011) mendefinisikan blue economy sebagai suatu model ekonomi yang menerapkan teknologi, pembangunan infrastruktur, konstruksi, sistem transportasi, mekanisme keuangan yang inovatif, dan pranata kelembagaan yang proaktif guna mewujudkan dua tujuan, yakni melindungi ekosistem pesisir dan lautan dan, secara simultan mengembangkan potensinya untuk pembangunan berkelanjutan, termasuk peningkatan kesejahteraan umat manusia dan mengurangi risiko-risiko lingkungan serta kelangkaan-kelangkaan ekologis (ecological scarcities).

          Pada tataran praktis, blue economy memberikan pedoman pembangunan kelautan sebagai berikut.

Pertama, kita mesti memelihara dan meningkatkan daya dukung ekosistem pesisir dan lautan agar mampu menyediakan bahan pangan, energi, SDA lain, dan ruang serta kualitas lingkungan hidup yang sehat, nyaman, dan berkecukupan secara lestari. Untuk itu, tata ruang wilayah yang dapat memproteksi kawasan lindung (minimal 30% total luas wilayah) dan menempatkan segenap sektor (kegiatan) pembangunan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, harus diimplementasikan dan ditegakkan di setiap wilayah pesisir dan lautan.  Tata ruang wilayah daratan (lahan atas/upland) di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) harus sesuai (mengikuti) tata ruang wilayah pesisir dan lautan.

Kedua, Laju pemanfaatan SDA terbarukan (seperti perikanan, mangroves, terumbu karang, dan sumber daya alam hayati laut lain) harus tidak melebihi kemampuan pulih dari SDA tersebut.  Kembangkan dan aplikasikan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan nilai tambah segenap usaha di sebelas sektor ekonomi kelautan secara lestari. Contohnya: bioteknologi, nanoteknologi, penggunaan bibit dan benih unggul, pakan berkualitas,  probiotik dan immunostimulan untuk tambak udang, konservasi keanekaragaman hayati pesisir dan lautan, dan teknologi pasca panen (industri hilir).

Ketiga, eksploitasi SDA tidak terbarukan (migas, batubara, mineral, dan bahan tambang) mesti dilakukan secara ramah lingkungan. Sebagian keuntungan ekonominya harus digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan substitusi dan mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi dan bisnis yang ramah lingkungan serta berkelanjutan. Keempat, semua kegiatan ekonomi dan manusia (rumah tangga, perkantoran, pabrik, transportasi, konsumsi, dan pembukaan lahan) harus diusahakan tidak banyak membuang limbah, zero-waste, dan sedikit mengemisikan gas rumah kaca (low-carbon). Pencemaran lingkungan harus dikendalikan. Kurangi penggunaan bahan bakar fosil (BBM dan batu bara), dan mulai sekarang beralih ke energi terbarukan, seperti biofuel, panas bumi, energi air, energi surya, angin, pasang surut, gelombang laut, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan hidrogen.  Ini sangat penting terutama untuk sektor perhubungan laut (kapal angkut dan pelabuhan), kapal ikan, dan jenis kapal-kapal lainnya.

Kelima, rehabilitasi semua ekosistem alam (seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangroves) yang mengalami kerusakan. Keenam, semua aktivitas pembukaan lahan, reklamasi, modifikasi bentang alam (land and sea scapes), design dan konstruksi harus dikerjakan sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika alam setempat. Ketujuh, kita pun harus melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lainnya.

Kedelapan, kita harus menurunkan total permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan, dengan cara mengendalikan jumlah penduduk dan menurunkan laju konsumsi (penggunaan) SDA serta pembuangan limbah per kapita.  Menurut perhitungan Brown (2003) dan Bank Dunia (2011), dengan rata-rata GNP per kapita US$ 9.000 dan konsumsi energi per kapita 2.500 kg (kg of oil equivalent) (seperti kondisi Malaysia sekarang), maka jumlah maksimum penduduk dunia  yang mampu ditopang oleh daya dukung planet bumi hanya sekitar 8 milyar orang.  Saat ini penduduk dunia telah mencapai 7 miliar jiwa, sedangkan konsumsi energi per kapita bangsa Indonesia baru sebesar 850 kg.

Mengingat kesenjangan antara warga dunia yang kaya vs. miskin kian melebar, dan sekitar 2 miliar penduduk dunia masih miskin, maka upaya penurunan laju penggunaan SDA dan pembuangan limbah per kapita harus dilakukan dengan cara menurunkan standar kehidupan (standard of living) orang-orang kaya, baik yang tinggal di negara-negara maju maupun negara berkembang, mendekati standar kehidupan rakyat Malaysia saat ini.  Pada saat yang sama, kita punya kewajiban moral untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk miskin melalui penyediaan lapangan kerja yang terhormat agar mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dan hidup sejahtera.

Program pemerataan kesejahteraan (standar kehidupan) antar warga dunia secara berkeadilan tersebut hanya dapat diwujudkan, bila perilaku individu dan masyarakat dunia yang selama ini didominasi oleh sifat konsumtif, materialistik, dan hedonis ditransformasi menjadi pola hidup yang lebih sederhana dan senang berbagai kelebihan dengan sesama insan.

Untuk transformasi perilaku manusia tersebut, tidaklah cukup hanya dilakukan melalui pendekatan teknologi, kelembagaan, hukum, dan ekonomi,  tetapi harus dibarengi dengan pendekatan spiritual (keagamaan). Yang dimaksud dengan pendekatan keagamaan adalah seseorang harus yakin, bahwa hidup sederhana, menolong mereka yang membutuhkan, berbagi kelebihan kepada sesama, dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini adalah merupakan amal saleh dan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.  Bagi mereka yang mengamalkannya, akan mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.  Sebaliknya, bagi mereka yang melanggar, akan hidup sengsara di dunia dan akhirat.


Leave a comment

March 2013
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031